Asumsi 5.45

Share this post
Kembali mengejar yang tidak terlihat
545byasumsi.substack.com

Kembali mengejar yang tidak terlihat

Asumsi
Nov 2, 2020
Share this post
Kembali mengejar yang tidak terlihat
545byasumsi.substack.com

Mari menata ulang lembaran yang terhampar di jeda pencaharian

PILPRES AS

Apa yang terjadi jika Donald Trump menang Pilpres AS 2020?

Foto: Wikimedia Commons

Di atas kertas, hal ini nyaris mustahil terjadi. Hampir semua pengamat, orang dalam, dan jurnalis politik sepakat bahwa peluang Donald Trump dilantik kembali sebagai presiden AS amat tipis. Joe Biden, lawannya dari partai Demokrat, unggul dari Trump di hampir semua survei preliminer.

Tetapi, ini Trump. Jangan kaget kalau ia menang secara dramatis.

Sejak pertama menjabat sekalipun, ia sudah jadi presiden paling diperdebatkan sepanjang sejarah AS. Ia hanya unggul dari Hillary Clinton pada pilpres 2016 karena menang di angka electoral college, dan persentase dukungan publik sepanjang kepemimpinannya termasuk rendah. Kemudian pandemi COVID-19 datang, dan penanganan pemerintah yang amburadul membuat popularitas Trump merosot.

Namun, Trump bukannya tak punya modal. Survei dari Gallup menunjukkan bahwa 56 persen warga AS merasa negaranya lebih makmur secara ekonomi ketimbang empat tahun lalu. Angka persepsi publik itu lebih tinggi dari masa-masa pemerintahan Barack Obama, George W. Bush, dan Bill Clinton. Pemilih laki-laki kulit putih dengan pendidikan di bawah kuliahan pun terwakili dengan baik dalam pendaftaran pemilih jelang pilpres, dan kelompok ini hampir sepenuhnya jatuh cinta pada Trump.

Seperti diwartakan Sydney Morning Herald, Trump belum menegaskan secara persis kebijakan apa yang akan dia kejar apabila ia terpilih untuk periode kedua. Cuma ada dua hal yang berulang kali ia gembar-gemborkan: bahwa vaksin COVID-19 akan segera datang untuk menyudahi pandemi, dan bahwa tahun 2021 akan jadi tahun pertumbuhan ekonomi terbaik sepanjang sejarah AS.

Namun, keduanya akan berkelindan erat dengan kebijakan luar negerinya. Seperti ditulis Wall Street Journal, presiden yang menjabat untuk periode kedua cenderung lebih mengejar warisan berupa kebijakan luar negeri, sebab “utang politik” mereka di dalam negeri sudah tuntas. Bush dan Clinton, misalnya, ngegas ingin menengahi konflik Israel dan Palestina. Adapun Obama menyudahi periode keduanya dengan menandatangani persetujuan nuklir Iran dan Kesepakatan Iklim Paris.

Di sinilah pengamat politik gemetar membayangkan kebijakan luar negeri AS di bawah Trump. Sebab, tiga pola dari periode pertamanya diprediksi akan berlanjut: pertama, ia akan melanjutkan “Perang Dingin” jilid II dengan Cina. Kedua, ia akan terus bermesraan dengan pemimpin negara yang terkenal otoriter, seperti Rusia dan Korea Utara. Terakhir, ia akan menafikan kesepakatan internasional dan mendorong AS bertindak seenaknya sendiri.

Saat ini, Cina adalah musuh bebuyutan Trump. Kepada jurnalis Washington Post, Trump menyatakan secara tersirat bahwa ia percaya Cina “sengaja membiarkan virus tersebut menyebar” agar Cina punya keunggulan kompetitif dari negara-negara lain di dunia. Trump pun berulang kali menyerang kebijakan Cina, menyalahkan Cina atas pandemi, dan mendeklarasikan perang dagang dengan Cina. Kutub Cina versus AS bisa tercipta, meski Perang Dingin kali ini lebih dipertarungkan dari segi ekonomi.

Seperti ditulis Wall Street Journal, periode kedua Trump akan didorong oleh keinginannya membuat “kesepakatan” dan “tukar guling” dengan pemimpin dunia lain. Ia lebih menyukai kesepakatan langsung satu lawan satu dengan negara lain, ketimbang berunding melalui perantara institusi global seperti NATO atau PBB. Dan dalam upayanya bersinggungan dengan pemimpin dunia dan membentuk “blok” baru untuk menghalau Cina, ia bisa bertambah dekat dengan pemimpin dengan rekor HAM kelam.

John Bolton, orang dalam pemerintahan Trump yang lengser karena konflik personal dengan sang presiden, memprediksi bahwa di periode kedua ia “tak akan begitu terkekang oleh kesantunan dan norma politik, dan lebih bebas menjadi dirinya sendiri.” Ia akan mengejar kebijakan yang memberi manfaat bagi bisnisnya sendiri, menarik perhatian dunia seraya memenuhi kehendaknya untuk jadi pusat perhatian, serta memulai konflik personal dengan pemimpin-pemimpin dunia.

Rasa jengkel Trump terhadap Angela Merkel, Kanselir Jerman, sudah jadi rahasia umum, begitupun kedekatannya dengan Kim Jong-Un, pemimpin Korea Utara. Bolton memprediksi bahwa demi menyenangkan kawan-kawannya, Trump bakal tega menarik AS dari kesepakatan NATO dan berhenti membela negara sekutu seperti Jerman dan Perancis. Ia sudah berupaya menarik pasukan AS dari Korea Selatan di periode pertama-- tentu untuk bikin senang Korea Utara. Gagasan ngeri ini bisa terwujud pada periode kedua.

Namun, kekacauan sesungguhnya terjadi di dalam negeri. Trump cenderung menyesaki kabinet dan pemerintahannya dengan orang yang amat loyal dan tak berani mempertanyakan keputusannya. Seperti dilansir The Atlantic, ada dua tipe politisi yang ditunjuk Trump selama menjabat: pertama adalah veteran partai Republikan yang setia meski tak setuju dengan Trump. Kedua, kelompok ultra loyal yang bukan siapa-siapa sampai Trump mengangkat mereka jadi pejabat.

Politisi Republikan senior seperti senator Tom Cotton, senator Lindsey Graham, hingga Menkeu Steve Mnuchin diprediksi akan terus bercuan di periode kedua pemerintahan Trump. Terlebih lagi orang-orang yang ultra loyal, seperti Richard Grenell (yang diangkat jadi Dubes Jerman) serta loyalis eks-militer macam Douglas McGregor dan Anthony Tata. Trump bakal mulai mengkonsolidasi posisinya di pemerintahan maupun di partai Republikan. Lambat laun, partai itu akan beneran jadi Partai Trump.

Hal ini akan penting, karena Republikan diprediksi bakal keok telak di pemilihan anggota Senat tahun 2020 dan 2022. Bila Senat dikuasai Demokrat, Trump bakal menghadapi oposisi dari DPR-nya sendiri. Mereka akan memandang Trump sebagai presiden yang tak layak, korup, mudah disetir oleh kepentingan asing, dan tak dicintai oleh rakyat AS. Politik internal AS bisa berubah menjadi cerminan perang saudara.

Kemungkinan semua ini terjadi sebenarnya tipis. Penyebabnya sederhana: Trump sendiri diprediksi bakal keok di Pilpres 2020 nanti. Namun, Trump juga divonis bakal kalah pada Pilpres 2016, dan saat itu ia sukses menjungkalkan prediksi orang banyak. Jika AS harus berkutat dengan empat tahun lagi bersama Trump, dunia akan menanti dengan gemetar.

*Raka Ibrahim

PILPRES AS

Apa yang terjadi jika Joe Biden menang Pilpres AS 2020?

Foto: Gage Skidmore/Wikimedia Commons

Joe Biden dianggap sebagai sosok penantang serius yang berpeluang menyingkirkan petahana Donald Trump pada Pemilu AS 2020, 3 November mendatang. Biden muncul membawa harapan, di saat Trump dianggap membawa kekacauan ke Negeri Abang Sam.

Kira-kira, apa yang akan terjadi jika Biden berhasil memenangi Pemilu AS?

Dunia saat ini memandang AS dengan dua situasi: kecemasan dan harapan besar. Saat Trump berjuang keras untuk memenangkan masa jabatan keduanya, sebagian besar dunia justru tidak sabar untuk melihatnya pergi, cemas ia akan melanjutkan gaya kepemimpinan yang “serampangan” jika terpilih kembali. Harapan besar mengarah pada Biden yang dinilai bisa memperbaiki banyak hal, dimulai dari kondisi nasional—masalah rasisme sampai pandemi COVID-19—hingga kebijakan luar negeri.

Pew Research merilis hasil jajak pendapat baru-baru ini, di mana dari 13 negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Trump muncul sebagai pemimpin dunia yang paling tidak dipercaya. Hanya 16% responden yang percaya pada Trump untuk melakukan hal yang benar dalam urusan dunia, kalah dari Xi Jinping (Cina) yang sebesar 19% dan Vladimir Putin 23%.

Respons dan langkah Trump yang buruk dan tidak kompeten dalam menangani COVID-19 menjadi salah satu faktor besar yang membuat reputasinya dan AS jatuh terpuruk. Akibatnya, saat ini AS menjadi negara dengan kasus positif dan meninggal terbanyak di dunia.

Di Eropa Barat misalnya, mayoritas negara di sana ingin Trump kalah di hari pemilihan yang tinggal empat hari lagi. Jajak pendapat YouGov baru-baru ini di tujuh negara—Inggris, Denmark, Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, dan Swedia—menunjukkan bahwa hanya sekitar 15% yang berharap Trump akan menang.

Namun, meski sebagian besar menginginkan Trump lengser, sekitar dua pertiga orang di tujuh negara tersebut mengatakan mereka tidak memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap Biden. Seperti di AS, sebagian besar dukungan untuk Biden di Eropa tampaknya lebih merupakan sebuah referendum melawan Trump.

Hanya sekitar 20% yang percaya Biden akan menjadi presiden yang "baik atau hebat", sementara lebih dari dua pertiga lainnya percaya bahwa Trump adalah presiden yang "buruk atau mengerikan".

Hanya segelintir warga internasional yang menyukai Trump, tetapi mereka justru lebih berkomitmen dan lebih terbuka terkait dukungan mereka. Berbeda dengan empat tahun lalu ketika sebagian besar politisi dan partai sayap kanan merupakan pendukung Trump yang "pemalu"—kebanyakan mengkritik Hillary Clinton dan Partai Demokrat, tetapi cukup berhati-hati dan tidak berkomitmen terhadap Trump.

Dunia Siap Sambut Hangat Biden Jika Memenangi Pemilu AS 2020?

Dari berbagai jajak pendapat, Biden lebih sering berada di posisi teratas mengalahkan Trump. Hal ini tentu saja bagus untuk Biden, meski mantan Wakil Presiden Barack Obama itu tetap saja harus waspada karena situasi bisa saja berubah, termasuk hasil pemilu nanti—berkaca pada Pemilu AS 2016 lalu.

Andai saja menang, sambutan terhadap Biden tampaknya akan positif. Dari segi ekonomi dan politik global, banyak negara diprediksi ingin membangun ulang hubungan dengan AS di bawah kepemimpinan Biden.

“Ya, kalau Biden menang sambutannya bisa lebih hangat dari negara-negara dunia. Cina, Rusia, dan Arab Saudi di tataran diplomasi pasti menyampaikan sambutan positif. Lanjutannya tentu menunggu apa statement pertama Biden soal kebijakan luar negeri jika menang,” kata Dinna Prapto Raharja, Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional saat dihubungi Asumsi.co, Jumat (30/10/20).

Dinna menilai hasil pemilu AS kali ini akan menentukan arah kebijakan negara-negara dunia terkait bentuk investasi, model kerja sama perdagangan, dan penguasaan sumber daya. Selama masa kepemimpinan Trump jilid 1, lanjutnya, yang sangat menonjol adalah kecenderungan melakukan dominasi, meraup sebanyak-banyaknya peluang dengan meninggalkan ruang yang jauh lebih sempit bagi negara-negara yang dianggap sebagai pesaing.

“Tidak nampak ada kebijakan luar negeri yang komprehensif bersifat kerja sama, semua lebih terarah pada penguatan dominasi AS sebagai kekuatan ekonomi dan politik dunia. Bahkan terhadap negara-negara sekutunya pun, AS masa Trump jilid 1 memilih berjarak dan memaknai relasi bilateral sebagai transaksi keuangan belaka,” ucap pendiri Synergy Policies tersebut.

Apakah hal ini akan berubah jika Biden menjadi Presiden AS? Biden dalam janji kampanyenya menonjolkan keinginan untuk kembali bekerja sama dengan negara-negara lain dan mengubah kembali bentuk kerja sama dengan sekutu-sekutu AS. Dinna melihat kemungkinan besar Biden akan kembali bernegosiasi soal perubahan iklim di forum PBB, mengangkat lagi wacana demokrasi dan HAM di tingkat internasional, dan bekerja sama lagi dengan Jepang, Australia, hingga Uni Eropa dalam format yang sebelumnya dikenal.

“Tapi karena kebijakan luar negeri AS bukan hanya ditentukan oleh presiden, ada juga kongres, maka komposisi kongres pasca pemilu 2020 ini juga penting untuk dicermati. Saya menduga tahun pertama dan kedua pasca pemilu, jika Biden naik, akan lebih banyak digunakan untuk memperbaiki situasi di dalam negeri AS.”

Perihal kerja sama dengan Indonesia, Dinna belum melihat akan ada perubahan kerja sama yang berarti dari Trump maupun Biden. “Keduanya sama-sama memandang Indonesia penting untuk citra baik di Asia tetapi belum tentu ada tenaga dan ketertarikan untuk berinvestasi lebih di Indonesia, baik itu bidang ekonomi maupun kerjasama diplomasi.”

Jika Biden berhasil mengalahkan Trump, Demokrat diharapkan bisa segera mengatasi pandemi dan membangun kembali hubungan global. Namun, jalan yang akan dilewati tentu tak mudah, apalagi presiden terpilih nanti akan menghadapi tekanan besar untuk menerapkan daftar prioritas pada berbagai masalah, mulai dari kebijakan luar negeri hingga krisis iklim, membalikkan banyak perubahan mencolok yang diterapkan oleh presiden sebelumnya.

Tetapi tugas pertama Biden dan paling mendesak selama 100 hari pertamanya di Gedung Putih adalah meluncurkan rencana nasional baru untuk memerangi krisis COVID-19, yang telah merenggut lebih dari 230.000 nyawa di AS dan menginfeksi jutaan orang. Biden diharapkan mengambil langkah untuk memperbaiki kejatuhan ekonomi yang terdampak.

Saikat Chakrabarti, seorang aktivis Demokrat dan mantan kepala staf anggota kongres wanita progresif New York Alexandria Ocasio-Cortez, menilai, Biden yang moderat juga harus siap berselisih dengan pihaknya sendiri—sebuah partai Demokrat dengan sayap liberal yang semakin berpengaruh, haus akan perubahan kelembagaan besar untuk mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang paling mendesak atas masa depan negara.

“Dia (Biden) pada dasarnya harus melakukan sesuatu yang bersejarah,” kata Saikat seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (30/10). “Dia sedang mengalami tekanan, pandemi, dan dia terpilih dengan mandat untuk benar-benar menyelesaikan masalah ini dan melakukan sesuatu yang besar.”

Chris Lu, mantan wakil sekretaris tenaga kerja pemerintahan Barack Obama, mengatakan bahwa dalam skenario terbaik untuk Biden, dia akan terpilih secara telak. Selanjutnya, Demokrat akan membalikkan Senat, mengambil kendali atas kedua kamar Kongres.

Menurut Chris Lu, jika kondisi itu terjadi, Biden dan timnya dapat memberlakukan rencana mereka yang paling ambisius untuk menjadi presiden dengan perasaan yang sama seperti yang dialami Franklin Delano Roosevelt, yang menerapkan program pemulihan New Deal sebagai respons atas krisis ekonomi tahun 1930-an.

"Dalam banyak hal, mereka akan melangkah dalam situasi yang sama seperti yang kita lakukan pada 2009. Namun dalam beberapa hal lebih buruk," kata Chris Lu, yang juga memimpin tim transisi presiden ke-44 pada 2008.

“Kami datang selama resesi hebat, mereka (Biden) akan mengambil alih kepemimpinan dalam kondisi resesi juga. Mereka memiliki tantangan tambahan dan yang jauh lebih sulit, yakni menangani krisis kesehatan masyarakat.”

Shofwan Al Banna, Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia, melihat kalau Biden menang di Pemilu AS 2020, maka pembuat keputusan tertinggi negara terkuat di dunia itu merupakan orang yang lebih rasional. Dampaknya tentu saja mengurangi risiko instabilitas dalam politik internasional.

“Secara umum memang demikian, ada sambutan positif, tapi tentu ada perbedaan di berbagai negara,” kata Shofwan kepada Asumsi.co, Jumat (30/10). Menurut Shofwan, negara-negara seperti Jepang atau mitra-mitra AS di Asia Timur mungkin akan lebih suka dengan Biden ketimbang Trump.

Namun, lanjut Shofwan, MBS atau MBZ—Mohammed bin Salman bin Abdulaziz Al Saud, Putra Mahkota Arab Saudi dan Mohammed bin Zayed bin Sultan Al Nahyan, Pangeran Mahkota Abu Dhabi—atau bahkan Israel di Timur Tengah, tentu saja akan lebih suka dengan Trump karena lebih agresif pada Iran dan mau deal senjata tanpa banyak memperhitungkan masalah-masalah seperti HAM atau demokrasi, seperti dalam kasus pembunuhan Kashoggi.

“Tapi, individu bukanlah penentu satu-satunya pada perilaku negara dalam hubungan internasional, sehingga naiknya Biden tidak otomatis mengubah semua kebijakan yg dilakukan Trump,” ucap Shofwan.

Menurut Shofwan, ada faktor struktural, yakni pergeseran distribusi kekuatan internasional dengan naiknya Cina sebagai negara yang punya pengaruh sangat kuat. Biden, lanjutnya, harus memiliki strategi yang lebih cerdas dalam menyikapi hal ini, khususnya dengan lebih mau mendengarkan negara-negara yang terdampak persaingan tersebut, seperti yang ada di kawasan Indo-Pasifik.

“Ada path-dependency. Perang Dagang mungkin akan lebih mereda, tapi tidak hilang sepenuhnya. TPP (Trans-Pacific Partnership alias Kemitraan Trans-Pasifik) mungkin akan dibicarakan kembali, tapi dengan penyesuaian,” kata Shofwan.

*Ramadhan Yahya

Mungkin kamu tidak asing dengan "bajing loncat" di Jalan Raya Lintas Sumatra. Tapi, apa sudah pernah melihat aksi mereka?

Surat 5.45

Oktober berlalu, tak terasa sudah beberapa bulan ditemani Asumsi tiap pagi, selain membantu mendapatkan informasi dan berita yang enak dibaca, tulisan di 5.45 juga ampuh sebagai salah satu upaya membangun mood untuk belajar corat coret, selain minum kopi atau chat pagi dari orang-orang tersayang :) Sehat terus untuk semua tim!

*Imas Millah

Suka sama format 5.45 yang baru, lebih mudah dibaca sama lebih banyak informasi yang bakal di dapetin. Terima kasih 5.45!

*Megantara

Bagi kami pendapatmu penting. Sampaikan ke bit.ly/surat545

Iklan Baris

Nells Daily. Menyediakan outfit kekinian yang ramah di kantong.

Ruby Shoeslokal. Pake sepatu luar tapi kw! Udah gak jaman pake yang kw kw, mending beli sepatu lokal tapi original. Sepatu lokal original lengkap, harga masuk akal, gak bikin lo miskin!

Moonpie Trinkets. Selling accessories and other cute petite things. 

Mau pasang iklan gratis? Klik di sini

Share this post
Kembali mengejar yang tidak terlihat
545byasumsi.substack.com
TopNew

No posts

Ready for more?

© 2022 Asumsi
Privacy ∙ Terms ∙ Collection notice
Publish on Substack Get the app
Substack is the home for great writing