Yang hancur lebur akan terobati
Selamanya, sampai kita tua.

PELANGGARAN HAM
Bertemu di penjara, bertahan karena cinta

IG @kawankawanmedia
Bagaimana penyintas pelanggaran HAM bertahan hidup menanggung stigma dan beban trauma? Apalagi, keadilan belum mereka dapatkan hingga saat ini.
Pengusutan dan pengadilan pelanggaran HAM berat selama 1965 masih mandek hingga saat ini, walaupun bukti-buktinya semakin bertumpukan. Kisah penangkapan, penyiksaan, hingga penghilangan orang pun terus muncul ke permukaan dari para penyintas dan keluarga mereka.
Salah satu cerita itu datang dari dokumenter berjudul You and I (2020) yang baru saja memenangkan penghargaan Asian Perspective Award (Best Film in Asian Competition) di DMZ International Documentary Film Festival di Korea Selatan.
Berkisah tentang dua mantan tahanan politik bernama Kaminah dan Kusdalini, keduanya bertemu di penjara pada 1965 dan tidak terpisahkan sejak saat itu. Hidup bersama hingga akhir hayat mereka di Solo, Jawa Tengah, hubungan keduanya begitu erat hingga mereka sering disangka sebagai saudara kembar atau kakak beradik.
Film yang disutradarai oleh Fanny Chotimah ini tidak menampilkan latar belakang yang membuat kedua tokoh di penjara, tetapi bagaimana keduanya bertahan hidup selepas menjalani hukuman dan kembali di tengah masyarakat. Apalagi, stigma terhadap tahanan politik begitu kental—bahkan hingga saat ini.
Walaupun belum tayang di Indonesia, You and I panen pujian. Juru program festival DMZ, Kim Young Woo, menilai bahwa You and I adalah “salah satu dokumenter terbaik di Asia tahun ini” dan bahwa filmnya telah secara peka “mengabadikan momen-momen terakhir pasangan yang hidupnya telah dipelintir sejarah.”
LINGKUNGAN
Co-firing mengurangi emisi gas rumah kaca?

Pxhere
Untuk dapat menekan konsumsi batu bara dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia, pemerintah hendak mengembangkan mekanisme co-firing: pemanfaatan campuran biomassa sebagai sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Targetnya, pada 2025, 1-3% PLTU batu bara dapat memanfaatkan mekanisme ini.
Namun, Greenpeace menilai bahwa upaya ini adalah solusi semu untuk mengurangi emisi GRK.
Kenapa begitu?
Pertama, bahan baku biomassa berupa sampah dan limbah hasil perkebunan untuk co-firing ini hanya mengambil porsi paling besar 5%, sisanya tetap menggunakan batu bara. Alhasil, emisi GRK dari PLTU batu bara dari mekanisme ini juga hanya akan berkurang relatif sedikit, yaitu sekitar 5,4%.
Kedua, kebutuhan akan limbah biomassa ini sangatlah besar: dibutuhkan lima juta ton pelet kayu per tahun atau 738.000 ton pelet sampah per tahun hanya untuk memenuhi kebutuhan 1% co-firing per tahun pada 18.000 MW batu bara yang sudah ada. Dengan target PLN untuk penerapan co-firing sebesar 10%, volume sampah yang dibutuhkan akan lebih besar lagi.
Ketiga, limbah organik rumah tangga yang sebenarnya berpotensi untuk jadi bahan bakar belum bisa bekerja secara maksimal karena tidak adanya sistem pemilahan sampah. Berkaca pada PLTU Jeranjang, Lombok yang memanfaatkan sampah dari TPA Kebon Kongok, masih tercampurnya sampah organik dan plastik justru berpotensi menurunkan efisiensi boiler PLTU.
Keempat, pemanfaatan limbah perkebunan seperti cangkang sawit justru berpeluang untuk menambah pembukaan lahan sawit yang menghasilkan jejak karbon besar. Perkebunan sawit dan pertambangan batu bara adalah penyebab deforestasi utama di Indonesia—melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar dalam proses pembukaan lahan.
Apa solusinya?
Jika PLTU batu bara adalah sumber utama emisi GRK di Indonesia, maka, untuk dapat menurunkan emisi, satu-satunya solusi adalah dengan bertransisi ke energi bersih dan terbarukan (EBT).
Pemerintah sudah memiliki target bauran EBT sebesar 23% pada 2025, tapi realisasinya masih minim: laju pertumbuhan EBT hanya 500 MW/tahun yang hanya akan mencapai penambahan 2.500 MW di 2025. Sementara itu, untuk dapat mencapai target bauran 23%, dibutuhkan 10.000 MW kapasitan EBT.
“Indonesia seharusnya langsung melakukan lompatan besar dari PLTU batu bara ke energi bersih dan terbarukan,” ujar Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari.
COVID-19
120 juta rapid test murah untuk negara miskin

Freepik
Alat apa?
Kata World Health Organization (WHO), rapid test murah akan disediakan untuk negara-negara berpendapatan rendah dan menengah dengan biaya tes maksimal sebesar US$5.
Meskipun relatif terjangkau jika dibandingkan dengan tes usap, alat yang dikembangkan oleh WHO ini dapat memberikan hasil akurat hanya dalam waktu 15 menit. Menurut CEO Foundation for Innovative New Diagnostics (FIND) Catharina Boehme, pengujian menggunakan alat ini “sesederhana menggunakan tes kehamilan.”
Kenapa negara miskin?
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan alat yang akan didistribusikan ke 133 negara ini penting untuk memperluas kapasitas tes di seluruh dunia secara merata.
Terutama, di wilayah-wilayah terpencil yang aksesnya sulit, tidak memiliki fasilitas laboratorium, atau di tempat yang minim tenaga kesehatan terlatih. Hal ini penting untuk dapat melacak klaster penularan dan menghentikan penyebaran virus secara cepat.
Siapa pihak-pihak yang mendukung proyek ini?
Manufaktur Abbott and SD Biosensor telah sepakat dengan Bill & Melinda Gates Foundation untuk membuat 120 juta alat tes ini tersedia dalam waktu enam bulan.
The Global Fund memberikan dana pengadaan awal sebesar US$50 juta. Pesanan pertama akan mulai diproses minggu ini.
Pemasaran awal di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah didukung oleh Africa CDC, Unitaid, FIND, CHAI, dan partner-partnernya.

Apapun jenis besinya, tinggal ketuk keluar harga!
Surat 5.45
Menurut saya, Raka Ibrahim adalah representasi jurnalistik yang asyik. Tulisannya serius tapi menghibur. Raka selalu menyuguhkan alternatif berita dari sudut dunia. Sehat selalu semuanya!
*Alfin Syah
Bagi kami pendapatmu penting. Sampaikan ke bit.ly/surat545
Iklan Baris
Hari Baik Cirebon. Cirebon. Kopi siap minum untuk temani saat hustle hard dan momen chill and relax kamu.
Lacoco Cafe. Duren Sawit, Jakarta Timur. Premium Melted Cheese Maccheroni.
Mau pasang iklan gratis? Klik di sini