All around you 🌸
A universal heart glowing, flowing, all around you.

Ada hoaks dan jiwa korsa di balik kerusuhan di Ciracas
Izin lapor, Ndan!
Penyerangan terhadap Mapolsek Ciracas, Jalan Raya Bogor, Jakarta Timur, Sabtu (29/8/20), diduga dipicu oleh kabar bohong dari seorang oknum anggota TNI. Prada MI, sang pelaku, mengatakan kepada 27 rekannya lewat pesan elektronik bahwa ia dikeroyok oleh orang-orang tak dikenal saat melintas di Jalan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, tepatnya di dekat pertigaan lampu merah Arundina.
Akibatnya, kawan-kawan pelaku berang. Mereka menyapu kawasan itu, menciptakan huru-hara. Salah satu sasarannya ialah Polsek Ciracas. Bangunan dan sejumlah kendaraan di kantor tersebut dirusak. Tiga polisi terluka dan dua di antaranya dirawat di rumah sakit. Sejumlah warga sipil yang berada di kawasan itu juga terdampak. Padahal, menurut keterangan saksi, rekaman CCTV, dan hasil olah TKP oleh polisi, sebagaimana disampaikan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Prada MI luka-luka karena mengalami kecelakaan lalu lintas belaka.
Hadi menyesalkan peristiwa tersebut dan mengimbau agar para anggota TNI tidak mudah terhasut apabila ada berita-berita yang belum tentu kebenarannya sehingga mengakibatkan kerugian bagi masyarakat.
Pengamat Militer: Ada Jiwa Korsa Berlebih
“Di lingkungan TNI, ego sektoral, superioritas, kebanggaan, dan jiwa korsa kerap dipompa berlebihan, sehingga berekses pada rendahnya penghormatan dan hadirnya ketidaksukaan terhadap pihak lain,” kata pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi saat dihubungi Asumsi.co, Senin (31/8).
Soal jiwa korsa atau esprit de corps ini, sejarawan militer Amerika Joseph S. Rouchek dalam esai "Social Attitudes of the Soldier in War Time" (1935) menjelaskan: pembeda warga sipil dari tentara ialah hilangnya semua kepribadian dan individualisme pada pihak kedua.
"Ketika seorang sipil menjadi militer, rasa nyaman berada di ruang pribadi mesti lenyap. Mereka harus menghilangkan inisiatif dan sikap mematut diri, serta sigap bekerja sama dengan rekan seperjuangan,” tulisnya.
Adapun Willard W. Waller dalam buku On The Family, Education, and War (1970) menyatakan bahwa militer memiliki tradisi tersendiri yang dibentuk melalui latihan-latihan khusus. Jiwa korsa ialah bagian dari tradisi itu. Setiap prajurit dibentuk agar memiliki kepercayaan amat kuat pada rekan-rekannya.
“Tepatnya, jiwa korsa yang dipompa berlebihan sehingga eksesif dan tidak ditegakkan secara tepat. Itu menjadi persoalan sistemik, membela teman baik ketika benar maupun salah,” ujar Fahmi.
Lebih lanjut, terkait Polri, Fahmi menyebut ada tantangan tersendiri menyangkut persepsi publik tentang buruknya penegakan hukum di Indonesia. Persepsi buruk itu, lanjutnya, menjadi semacam pemantik ketika berhadapan dengan ego sektoral, superioritas, dan jiwa korsa eksesif anggota TNI dalam persoalan yang menyangkut kepentingan kesatuan atau personel.
“Poin itu menjawab bagaimana sebuah kabar bohong mampu menggerakkan aksi kekerasan oleh sejumlah oknum,” ujarnya.
Menurut Fahmi, para pimpinan TNI dan Polri perlu diingatkan bahwa masalah ini tak dapat dituntaskan hanya lewat aksi foto-foto dan pidato soal kekompakan. Selain pembenahan kurikulum dan doktrin di lembaga pendidikan prajurit, ia mengatakan penting pula untuk membenahi praktik-praktik kepemimpinan di setiap institusi, terutama bagi para pimpinan/perwira di lapangan.
“Merekalah yang mestinya paling dulu menerapkan kedisiplinan, kepatuhan dan kesadaran untuk tidak melakukan tindakan yang memalukan dan merusak nama baik korps, dan ini akan menjadi teladan bagi para personel di bawahnya,” kata Fahmi.
“Kalau mau diseriusi, gagalnya 'tindakan tegas' sebagaimana kerap disampaikan para petinggi TNI itu membawa efek jera, ya, karena reformasi peradilan militer belum berjalan dan masih menjadi salah satu agenda reformasi yang belum tuntas.”
Teladan Kepatuhan terhadap Hukum
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai TNI dan Polri seharusnya mencontohkan kepatuhan kepada hukum.
"Tiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Meskipun yang melakukan tindakan hukum tersebut adalah anggota TNI dan Polri," kata Usman dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (30/8).
Usman menyebut pelanggaran hukum tersebut bukanlah dilakukan oleh institusi atau lembaga, melainkan individu, sehingga institusi yang menaungi pelaku harus menegakkan hukum. Dengan kata lain, salah besar jika institusi malah melindungi anggotanya yang bersalah.
"Institusi yang menegakkan hukum, berarti institusi tersebut menjaga martabatnya, menjaga kehormatannya. Sebaliknya, institusi yang melindungi anggotanya dari tindakan hukum itu sama saja dengan merusak kredibilitas institusi yang bersangkutan,” ujar eks Koordinator KontraS tersebut. "Jika selalu dilindungi oleh institusi, anggota yang bersangkutan cenderung 'ringan tangan' untuk melakukan tindakan yang melawan hukum.”
*Ramadhan Yahya

Politik luar negeri selalu bertalian dengan politik domestik.
Kenapa Tilik ditonton hingga belasan juta kali?
Kabar gembira untuk para pembuat film pendek di Indonesia.
Hanya dalam dua pekan, film pendek Tilik (2018) yang ditayangkan di Youtube telah ditonton lebih dari 19 juta kali (31/8).
Pencapaian ini terbilang langka untuk film pendek Indonesia. Tak seperti film panjang yang bisa ditayangkan di bioskop, distribusi film pendek terbilang lebih rumit. Film pendek seringkali mengambil strategi untuk berkeliling festival film di luar negeri dahulu untuk mendapatkan banyak exposure. Satu atau dua tahun setelahnya, barulah film dapat dipertemukan dengan penonton umum—baik lewat pemutaran alternatif maupun ditayangkan secara daring. Itu pun, biasanya, hanya film yang mendapatkan cukup banyak nominasi dan penghargaan yang bisa menarik banyak penonton.
Lantas, apa yang membedakan Tilik dengan film-film pendek lain? Pertama, budaya berprasangka dan membicarakan orang lain bisa jadi adalah fenomena yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Apalagi, Tilik bisa menggambarkan itu dari berbagai sisi: karakter Bu Tejo (Siti Fauziah) yang gemar mengurusi hidup orang lain, Yu Ning (Brilliana Desy) yang tak mau ikut-ikutan dan menantang Bu Tejo untuk membuktikan gosip yang ia sebarkan, hingga seorang ibu yang muntah di tengah jalan—entah karena mual berdiri di truk sekian lama atau tak tahan dengan omongan yang semakin menyebar ke mana-mana.
Popularitas Tilik pun tak hanya didorong oleh rasa akrab itu, tetapi juga pro dan kontra yang mengikutinya. Di satu sisi, orang merasa Bu Tejo mewakili realitas budaya bergosip dan kabar burung yang sangat cepar menyebar. Di sisi lain, penggambaran Bu Tejo yang mentok pada mulut pedas dan motivasinya menjatuhkan orang lain ini seperti memperkuat stereotip bahwa ibu-ibu senang bergunjing dan hanya itu yang mereka punya. Pro dan kontra ini pulalah yang bisa jadi membuat semakin banyak orang tertarik untuk menontonnya, dan semakin ramai pula perdebatannya di media sosial.
Di balik itu semua, ada strategi pemasaran dan distribusi yang berpengaruh penting. Dalam diskusi daring bersama produser dan publisis Tilik oleh Asumsi.co, keduanya menyampaikan strategi mereka untuk meramaikan Tilik di jagat media sosial.
Vanis selaku publisis mengatakan bahwa pihaknya sengaja mempromosikan Tilik dengan mempopulerkan karakter Bu Tejo lewat poster-poster di media sosial. Orang yang penasaran dengan karakter Bu Tejo ini kemudian diharapkan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang filmnya. “Kalau dilihat di film, dari awal sampai akhir yang pasti ada terus adalah mukanya Bu Tejo. Bu Tejo itu yang membawa ceritanya untuk terus bergulir. Dari situ kita merasa Bu Tejo cocok untuk dijadikan icon, dan audiens jadi bertanya-tanya ini apa dan siapa. Lalu akhirnya bergulirlah, ‘Bu Tejo ini adalah karakter di film kami, loh, nontonlah,'” ujar Vanis (28/8).
Strategi promosi Tilik yang tayang di Youtube pada 17 Agustus ini juga memanfaatkan ulasan atau impresi singkat dari orang-orang yang berpengaruh di media sosial. Mereka diberikan kesempatan untuk menonton lebih dulu, kemudian diberikan kebebasan untuk membagikan pendapatnya tentang film ini di media sosial. “Kami menghubungi beberapa teman yang cukup memiliki exposure di Twitter dan Instagram, lalu kami menawarkan, ‘film Tilik akan tayang di Youtube, apakah teman-teman bersedia untuk menonton dulu lalu meresponsnya? Terserah dengan apa, bisa kritik, review, apapun.'”
Promosi yang diutamakan lewat Twitter, Instagram, dan WhatsApp ini juga memiliki pendekatan yang berbeda-beda. Di Twitter, Vanis mengatakan banyak meminta bantuan ke akun-akun yang terkenal telah gemar film pendek. Sementara itu, di WhatsApp dan Instagram, target pemasarannya diperluas ke khalayak umum.
“Kami memahami Twitter lebih gerak cepat informasinya karena ia text-based. Orang baca dulu baru lihat gambar, sedangkan Instagram kebalikannya. WhatsApp bisa dua-duanya. Kami rasa kombinasi dari tiga platform ini bisa membawa Tilik jadi masif. Paling nggak, orang ngeh ada film pendek judulnya Tilik,” lanjut Vanis.
Terlepas dari strategi-strategi promosi yang telah dikerahkan, keberhasilan Tilik untuk tak hanya ditonton—tetapi juga dibicarakan dan diperdebatkan—melampaui ekspektasi pembuat film. Respons penonton menjalar secara organik, kemudian bisa jadi memantik rasa fear of missing out (FOMO) bagi orang lain yang belum menonton, dan begitu seterusnya. Tilik maupun karakter Bu Tejo pun sempat menjadi trending topic beberapa kali.
Ketenaran Tilik pun tak sebatas di dunia maya. Pembuat film dan pemeran Tilik diundang ke berbagai acara stasiun televisi. Karakter Bu Tejo dijadikan meme, kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah maupun pemilik brand untuk mempromosikan berbagai program ataupun produk mereka.
Produser Tilik, Elena Rosmeisara, mengatakan pihaknya sedang mempertimbangkan untuk menarik biaya royalti bagi pihak-pihak yang memanfaatkan karakter Bu Tejo atau gambar-gambar lainnya di film untuk keperluan komersial. “Sejauh ini sih kami masih sama-sama kaget, tapi nanti akan ada terusan obrolan untuk membahas ini. Sedang kami proses, karena kebetulan kepemilikan Tilik ini juga ada di Dinas Kebudayaan DIY,” ujar Elena dalam kesempatan yang sama.
Yang jelas, pihaknya kini masih tak menyangka film pendeknya bisa diapresiasi seluas ini.
“Tujuan awalnya sebenarnya nggak buat viral, tapi agar Tilik ditonton aja. Kami memang ingin mengenalkan khasanah film pendek Indonesia nggak cuma ke yang sudah biasa datang ke festival, supaya film ini bisa diapresiasi dalam bentuk apa pun: ditonton, dikritik, dimaknai secara berbeda. Kami jadi percaya bahwa antusiasme teman-teman masih belum mati terhadap film pendek Indonesia, dan kami berterima kasih atas itu.”
*Permata Adinda
Surat 5.45
Indonesia dihantam wabah sementara diri sendiri harus melanjutkan belajar di luar negeri. Banyak pesawat tak lagi terbang. Jika memaksa pulang, tidak ada yang tahu kapan bisa kembali ke sini. Yang paling ditakutkan: orang terkasih pergi dan tak sempat mengucapkan selamat jalan.
*Hendardi
Info COVID-19 menghiasi berbagai media, mulai dari cara pencegahan, korban, dll. Aku baca itu semua. Was-was banget. Kalian juga, kan? Untuk kalian dan aku, jangan panik, ya. Aturan buat cuci tangan, pakai masker, dan lain-lain kudu dilakuin karena itu bentuk usaha kita. Tetap pantau berita dan jangan sampai termakan hoaks. Jaga kesehatan, ya. Ajak orang-orang di sekitar kita untuk hidup sehat. Makan makanan yang sehat, minum air putih yang banyak. Olahraga bisa di rumah, senam misalnya. Kalian dan aku harus yakin bisa melewati masa ini. Oh iya, jangan lupa berdoa kepada Tuhan juga. Kalau ada yang baca ini, semoga kita bisa jadi teman. Salam manis, salam sehat.
*Momo
Bagi kami pendapatmu penting. Sampaikan ke bit.ly/surat545
Iklan Baris
Halo Kalo. Tegal, Jawa Tengah. Wabah yang sedang menjajah menuntut kita selalu sedia pelindung wajah. Halo Kalo siap mempersenjataimu dengan masker kain dengan desain bolak-balik; jadi serasa punya dua masker. Bahan? Katun yang adem dan breathable. Harga? Rp10.000/pcs saja.
Robberry.id. Jakarta Selatan. Butuh outfit baru setelah lama bekerja dari rumah dan masih ragu untuk pergi ke tempat umum? Robberry.id siap membantumu mendapatkan outfit baru (secondhand product) dengan kualitas baik dan harga terjangkau. Tunggu apa lagi? segera kunjungi toko kami di laman instagram (@robberryid) dan twitter (@robbery_id)
Wonosari Old. Wonosari, Yogyakarta. Saya menjual buku bekas. Bekas bacaan dan buku-buku kuliah saya serta titipan teman-teman saya. Kondisi masih oke, bisa nego dan bukunya juga beragam jenis, baik fiksi maupun nonfiksi.
Mau pasang iklan gratis? Klik di sini