Normal telah tiba, hore, hore, hore
Sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja.

Kalau mal dibuka lagi, jangan lupakan pekerjanya
Mereka bisa terpapar COVID-19 sebelum sampai tempat kerja. Prosedur di mal saja tidak cukup.
Setelah hampir tiga bulan tutup karena pandemi COVID-19, mal-mal di DKI Jakarta bersiap untuk kembali beroperasi. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta menyampaikan bahwa 60 pusat perbelanjaan akan dibuka kembali pada 5 Juni, disusul empat mal lainnya pada 8 Juni mendatang.
Ketua APPBI DKI Jakarta Ellen Hidayat mengatakan kegiatan operasional pusat perbelanjaan akan disesuaikan dengan kondisi pandemi COVID-19 dan protokol kelaziman baru (new normal). Dalam penerapannya, mal hanya akan beroperasi selama 9 jam per hari. Jika semula beroperasi pada pukul 10.00-22.00 WIB, nantinya menjadi 11.00-20.00 WIB. Namun, jam buka ini tetap menyesuaikan kesiapan masing-masing mal. Dengan kata lain, tidak seragam.
"Penyesuaian untuk tahap new normal akan ditentukan oleh pihak pengelola mal masing-masing. Umumnya akan dicoba buka pukul 11.00 sampai 20.00 WIB," ungkap Ellen kepada CNNIndonesia.com.
Langkah ini menimbulkan kontroversi. Sejumlah ahli menilai izin yang diterbitkan pemerintah bak mempertaruhkan kesehatan masyarakat. Konsekuensi terburuknya, baik kesehatan maupun ekonomi tidak terselamatkan. Pasalnya, tidak ada indikator yang jelas sebagai acuan penerapan kelaziman baru, semisal kurva pandemi yang telah melandai.
Ahli Kebijakan Publik Agus Pambagyo mengatakan, dalam pandemi, kebijakan semestinya dilandasi bukti-bukti saintifik. “Saat ini apa scientific evidence yang digunakan oleh seluruh dunia? yaitu 10.000 tes per 1 juta penduduk. Kita sudah ada belum? Lalu gimana? Apa mau bikin kebijakan baru? [Berarti] ya ngasal judulnya,” kata Agus kepada Asumsi.co
Berbagai negara memang telah merencanakan pembukaan mal begitu jumlah penularan COVID-19 menurun. Namun, bukan berarti hal ini dapat menggerakkan roda perekonomian, khususnya sektor ritel, seperti sedia kala. Chief Executive British Retail Consortium (BRC) Helen Dickinson, misalnya, mengatakan, "Karena penjualan diperkirakan akan tetap lemah walau toko-toko mulai buka, banyak peritel yang akan tetap jatuh-bangun untuk bertahan," ujar Dickinson pada The Guardian.
Ketua Umum APPBI Stefanus Ridwan menjelaskan bahwa pihaknya telah menyiapkan prosedur kesehatan standar yang akan diterapkan di seluruh mal di Indonesia.
Rincian protokol kesehatan yang disebutkan Stefanus antara lain antrean pengunjung yang memasuki mal diatur oleh petugas dengan menerapkan jaga jarak fisik (physical distancing) sejauh 1 meter, pemeriksaan suhu tubuh sebelum memasuki area mal akan dilakukan menggunakan thermo gun; jika suhu tubuh pengunjung di atas 37,5 derajat celsius, pengunjung tidak diperkenankan masuk.
Antrean berjarak juga diberlakukan ketika pengunjung memasuki toko di dalam mal untuk menghindari kerumunan. Seluruh area mal juga akan disemprot disinfektan secara berkala.
Masalahnya, pekerja ritel menghadapi bahaya terpapar COVID-19 bahkan sebelum sampai ke tempat kerja. Manajemen mal bisa saja mengklaim mereka melakukan protokol kesehatan COVID-19 dengan baik, tapi apakah protokol itu mampu menjangkau atau terintegrasi dengan transportasi umum yang harus digunakan para pegawai untuk sampai ke tempat kerja?
Arinta, bukan nama sebenarnya, seorang pegawai perusahaan ritel yang bekerja di salah satu mal di Jakarta, mengungkapkan dilema yang dialaminya. Pada satu sisi, ia senang karena dapat kembali bekerja setelah kurang lebih 3 bulan dirumahkan. Di sisi lain, ia mengkhawatirkan banyak kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Protokol kesehatan dirasanya tidaklah cukup, terlebih lagi produk yang dijualnya adalah arloji. Frekuensi manusia menyentuh benda tersebut sangat memungkinkan penularan COVID-19. Selain itu, banyaknya jumlah pekerja dan kesibukan yang beragam di mal membuatnya pesimis protokol-protokol tersebut dapat diterapkan secara baik.
“Meski kita sudah hati-hati banget, kita nggak tahu ya [mereka] di jalan bagaimana, dia (para pegawai) istirahat beli makan di mana. Kayak gitu-gitu kan nggak menutup kemungkinan juga [terpapar virus],” kata Arinta.
Mau tak mau, ia memang harus menjalankan pekerjaannya dengan kelaziman baru: berdampingan dengan risiko tertular COVID-19. Ia hanya berharap pihak mal bukan hanya menerapkan SOP tersebut secara ketat di dalam mal, tetapi juga menyediakan ekstensi terhadap segala kegiatan yang melingkupi mal.
“Sebenarnya, penginnya begitu, ada transportasi dari mal. Waktu banjir, mal bisa menyediakan truk dan bus untuk karyawan-karyawan menuju mal. Aku harap sih kayak gitu juga, karena kan kalau naik kendaraan umum bahaya,” ungkap Arinta.
*MM Ridho

Menurutmu, penting nggak rumah ibadah segera dibuka kembali?
Bantu kami sebar kebaikan tiap pagi: bit.ly/545Asumsi
Pool testing. Apaan, tuh?
Metode ini cocok untuk negara-negara yang sumber dayanya terbatas. Tapi banyak hal perlu dikaji sebelum penerapannya.
Baru ada terobosan menarik di Wuhan, kota yang dikenal sebagai titik nol pandemi COVID-19. Akhir pekan lalu (23/5), otoritas kota itu melakukan tes massal COVID-19 untuk 1,47 juta orang dalam sehari, naik lima belas kali lipat dari jumlah rata-rata tes harian sebelumnya. Resep rahasia mereka? Metode yang sedang dikulik untuk menyiasati keterbatasan kapasitas tes: pooling test.
Akhir Maret lalu, sejumlah peneliti dari Technion - Institut Teknologi Israel mengusulkan penggunaan metode ini untuk mempercepat tingkat pengujian dan pendeteksian pasien positif COVID-19. Bila prinsip yang mereka kemukakan berhasil, metode pool testing tak hanya meningkatkan kapasitas tes berlipat ganda. Ia juga menghemat biaya, dan menjadi solusi alternatif untuk negara yang memiliki sumber daya terbatas untuk melakukan tes massal.
Pooling test atau Dorfman Group Testing adalah metode uji simultan yang pertama kali dikembangkan pada Perang Dunia II. Prinsipnya sederhana: alih-alih menguji sampel satu per satu, laboratorium akan menggabungkan sejumlah sampel dari beberapa individu dalam satu tabung dan disaring melalui tes secara bersamaan.
Umumnya, laboratorium menggabungkan sampel berupa darah atau urine dari 5-10 individu yang berasal dari satu populasi homogen. Misalnya, setiap individu dalam sampel gabungan tersebut tinggal dalam satu rumah atau satu kantor yang sama.
Jika dalam uji gabungan tersebut hasilnya negatif, 5-10 orang tersebut semuanya dianggap negatif. Jika hasil uji gabungan tersebut positif, setiap sampel akan diuji ulang secara terpisah untuk mencari tahu siapa individu yang terinfeksi.
Metode pooling test biasanya dipakai ketika pekerja medis ingin mendiagnosis orang dalam jumlah yang banyak, dalam tempo waktu yang cepat, dengan sumber daya yang terbatas. Mulanya, metode ini digunakan untuk screening penyakit sifilis pada tentara AS. Kemudian, metode ini digunakan untuk penyakit berskala besar lainnya seperti pandemi HIV, influenza, klamidia, dan malaria.
"Pooling test memungkinkan pelaksanaan pengujian yang diperluas dalam kelompok populasi yang lebih besar, bahkan dalam keterbatasan tes kit yang dimiliki," kata Profesor Erhard Seifried dari Palang Merah Jerman, seperti dilansir Kompas.com. Dalam kondisi darurat pandemi, terutama dalam negara yang memiliki kapasitas tes kurang memadai, pooling test dapat dipandang sebagai alternatif yang menawan.
Kekurangannya, bila hasil pooling test negatif, setiap orang dalam suatu sampel harus dites ulang satu persatu untuk memastikan siapa sebenarnya yang kena virus. Sederhananya, laboratorium jadi harus bekerja dua kali.
Ketepatannya pun tidak sebaik tes yang selama ini dilakukan. Menurut Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University Australia, dalam kasus borderline atau infeksi yang amat ringan, pooling test justru bisa menghasilkan hasil negatif palsu.
Hingga kini, World Health Organization (WHO) belum menetapkan kebijakan resmi terkait penggunaan pool testing dalam konteks pandemi COVID-19. Salah satu negara yang ngegas duluan adalah Jerman. Sejak Maret lalu, mereka sudah menerapkan pool testing dalam kasus-kasus tertentu. Jumlah tes pun meningkat dari 40.000 tes per hari jadi 200.000 - 400.000 tes per hari.
Peneliti di Jerman pun menyanggah bahwa ketepatan pool testing meragukan. “Bila ada kasus positif di pool mini, tes individual dapat dilakukan ulang dan kita bisa mengetahui siapa sampel yang positif dalam jangka waktu empat jam,” tulis laporan dari German Red Cross Blood Donor Service di Frankfurt dan Institute for Medical Virology at the University Hospital Frankfurt di Goethe University. Logika mereka pun jelas: semakin banyak tes dilakukan, pandemi semakin mudah dipetakan dan diatasi.
Awal April lalu, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga di India pun mengevaluasi penggunaan metode pooling test untuk memperbanyak tes COVID-19 dalam tempo singkat. Namun, dalam strategi national testing yang dirilis pada 4 April 2020 lalu, belum ada arahan khusus terkait pooling test.
Seperti dilaporkan Wall Street Journal, Wuhan akhirnya menerapkan pooling test untuk memperluas kapasitas tesnya secara masif. Setelah klaster baru infeksi asimptomatik COVID-19 dilaporkan pada tanggal 9 Mei, Pemkot Wuhan mengumumkan kampanye tes massal untuk memeriksa 11 juta penduduk Wuhan. Antara 14 Mei hingga 23 Mei, Pemkot Wuhan berhasil melakukan 6,57 juta tes.
Setelah swab test dilakukan kepada setiap penduduk, 5-10 sampel digabungkan dan dites melalui metode pooling test. Hasil dari tes cepat tersebut mulai tampak: Senin (25/5) lalu, Wuhan mengumumkan 38 kasus baru COVID-19 asimptomatik di kotanya. Kini, kota tersebut punya 326 kasus COVID-19 asimptomatik yang dalam pantauan.
Meskipun tanda-tandanya menjanjikan, bukan berarti pool testing dapat serta merta diterapkan di Indonesia. Menurut Dicky Budiman, pool testing tetap harus didukung oleh strategi penanggulangan pandemi yang baik. "Testing bukanlah suatu intervensi yang berdiri sendiri, dia harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari tracing, treat, dan isolasi serta program pencegahan. Sangat berbahaya melakukan suatu intervensi yang tidak tersinergi," ucapnya.
Kalaupun pool testing terpaksa diterapkan, ia mengingatkan agar jumlah sampel yang digabung dalam satu kloter tak melebihi 10 individu. Hal ini penting agar tidak ada hasil positif atau negatif palsu yang justru dapat memperparah keadaan.
*Raka Ibrahim
Surat 5.45
Saya baru saja selesai membaca ulasan Nicky Stephani tentang The World of the Married, padahal tulisan tersebut sudah diterbitkan beberapa hari yang lalu. Sungguh malang karena saya baru saja membacanya hari ini. Sedikit bercerita, saya adalah seorang perempuan di usia menjelang 26 tahun dan beberapa waktu lalu saya berbicara dengan teman saya, bahwa salah satu berkah pembatasan sosial ini adalah kami tidak perlu repot menjawab pertanyaan rutin bibi-bibi kami setiap lebaran tiba: kapan menikah?
Saya ingat betul bibi saya pernah mengatakan, "Sudah, cepat menikah saja. Menunggu apa lagi sih? Tidak ingin membahagiakan orang tua?" Saya terus berpikir apakah benar jika saya menikah orang tua saya akan bahagia? Apakah itu satu-satunya cara supaya orang tua saya bahagia?
Saya termasuk orang yang pesimistis dan selalu berpikir bahwa perkara cinta dan menikah ini sungguh merepotkan. Maka ketika ada orang yang akhirnya memutuskan untuk menikah, saya selalu merasa kagum. Bagaimana bisa dia memiliki keberanian sebesar itu? Bagaimana caranya seseorang memiliki cinta yang begitu banyak dan tidak ada habis-habisnya kepada orang lain?
Perkara cinta ini selalu saja menjadi masalah yang pelik dan sulit untuk saya pikirkan. Dan menonton TWTM menambah keyakinan saya akan hal itu. Bagaimana drama itu mengolok-olok cinta dan pernikahan sangat menarik bagi saya pribadi. Terlepas dari itu semua, saya tetap percaya bahwa cinta tentu saja hal yang indah. Cinta kepada pasangan barangkali sesuatu yang sulit untuk saya bayangkan, tapi ada banyak hal lain yang saya cintai di dunia ini.
*Amy
===
Saat membaca suratmu, saya teringat puisi Umbu Landu Paranggi yang berjudul "Melodia." Kalimat pertamanya berbunyi, "Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan." Berselang dua baris, masih dalam bait yang sama, dia mengatakan: "Sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja."
Mungkin Umbu tidak sedang berbicara tentang cinta yang romantis, tetapi cinta terhadap kehidupan, kota tempat tinggalnya, seni menulis puisi, atau apalah. Namun, saya kira, baris pembuka sajak ini menggambarkan secara tepat kesanggupan kita, manusia: untuk bertahan hanya sesekali, bukan selamanya.
Dalam urusan apa pun, selamanya adalah perkara sulit, dan cinta saja tak bakal cukup buat menjaminnya. Tetapi tak cukup bukan berarti tidak berharga, kan?
*Dea Anugrah
Bagi kami pendapatmu penting. Sampaikan ke bit.ly/surat545
Kalau kamu punya informasi penting tentang kesalahan penanganan wabah COVID-19 di tingkat pengambil kebijakan dan ingin menjadi whistleblower, kirimkan pesanmu ke redaksi@asumsi.co. Kami bisa menjaga kerahasiaan identitasmu.
Iklan Baris
Warteg Pandy Jaya. Jakarta Timur. Menyediakan menu makanan pilihan terbaik untuk keluarga indonesia yang sedang lapar. Bisa dipesan lewat gofood dan grabfood.
Promosyipp. Bekasi, Jawa Barat. Jasa pembuatan video/foto/infografis spesialis iklan (advertising) dan documentary. Harga terjangkau.
Toko Ijou. Sleman, Yogyakarta. Buku bekas orisinal murah adalah obat anti-botak karena kering gagasan.
Mau pasang iklan gratis? Klik di sini