Asumsi 5.45

Share this post
Saling sayang, saling rawat, saling jaga
545byasumsi.substack.com

Saling sayang, saling rawat, saling jaga

Asumsi
Mar 20, 2020
Share this post
Saling sayang, saling rawat, saling jaga
545byasumsi.substack.com

The personal is political

Bisa "belajar online" dengan mudah itu privilese

Perubahan metode semestinya didahului persiapan memadai

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan untuk menutup seluruh sekolah di Jakarta mulai Senin (16/3) hingga dua pekan ke depan demi mencegah penyebaran COVID-19.

Seiring peningkatan kasus positif COVID-19, banyak perguruan tinggi yang juga ikut menerapkan kebijakan ini. Universitas Indonesia salah satunya. Melalui surat edaran resmi, Rektor Ari Kuncoro mengatakan universitasnya akan memberlakukan Pembelajaran Jarak Jauh mulai Rabu (18/3) hingga berakhirnya semester genap Tahun Ajaran 2019/2020 dan meniadakan segala aktivitas pembelajaran tatap muka.

Jujur saja, sebagai mahasiswa, saya menyambut keputusan ini dengan penuh suka cita. Selain bisa menghemat ongkos dan waktu, saya juga bisa sedikit berbangga hati dan berkata dengan jumawa pada diri sendiri, “Selama satu semester penuh, saya tidak menyumbangkan polusi udara. Untuk itu, saya telah memberikan kontribusi kepada alam semesta.”

Selain itu, bagi saya, berleha-leha adalah kemewahan. Untuk apa menempuh jarak 20 kilometer tiap hari demi berdesakan di ruang kelas yang sempit dan panasnya bukan main? Belum lagi kalau pengajar datang terlambat, memeriksa kehadiran mahasiswa, dan pergi lagi setelah memberikan tugas. Untuk itu saja, sering terpikir, kalau seandainya saya bisa meminta waktu itu kembali, saya akan memakainya untuk menuntaskan satu buku tipis.

Kalaupun ada dosen yang datang tepat waktu dan mengajar sebagaimana mestinya, sering kali yang tersaji cuma monolog hampa tanpa diskusi atau perdebatan mendalam soal materi yang disampaikan.

Anita, bukan nama sebenarnya, menyetujui keberatan itu. Mahasiswa jurusan psikologi di salah satu perguruan tinggi negeri ini baru saja menyelesaikan kuliah online psikometri menggunakan aplikasi Zoom. Baginya, metode belajar ini lebih menyenangkan.

“Luckily, enggak terlalu banyak makan kuota internet. Waktunya fleksibel. Bisa sambil makan snack atau multitasking, yang enggak bisa dilakukan dalam kelas normal. Kalau masih kurang paham dengan sekali penjelasan, bisa liat rekamannya, terus chat dosen atau teman. Cocok buat yang bukan fast learner kayak aku,” kata Anita.

Tapi tentu tidak semua orang merasakan pengalaman yang sama dengan saya dan Anita. Hazel, seorang siswa SMP Negeri di Jakarta, justru sebaliknya. Ia lebih memilih datang ke sekolah untuk belajar dengan tatap muka. Menurutnya, para guru tidak memanfaatkan aplikasi komunikasi jarak jauh dengan maksimal.

“Sejauh ini belum ada [video conference]. Rata-rata kalau jelasin lewat chat aja atau langsung kasih tugas, lalu dikumpulin,” kata Hazel. “Guru saya gaya ngetiknya kurang jelas, jadi banyak murid yang salah tangkap,” tambahnya.

Hal ini dibenarkan Naya, dosen muda yang mengajar pada dua perguruan tinggi sekaligus. Baginya, beberapa mata kuliah yang diampunya menggunakan metode dialog yang tidak bisa diterapkan melalui video conference.

“Karena gue nggak suka ngajar dengan cara yang kayak ceramah. Gue ngomongnya dikit aja dan kelasnya dibangun lewat diskusi. Jadi, kalaupun gue akan submit powerpoint atau tulisan gue, jadi kurang dua arah gitu lho komunikasinya. Dan walaupun gue stand by di chat room, gue yakin banget mahasiswa bakal lebih pasif, nggak kayak di kelas,” kata Naya

Naya tidak punya pilihan lain. Setelah surat dari rektorat beredar, rapat diadakan secara mendadak. Meski membahas media apa saja yang bisa digunakan, rapat tidak membicarakan soal silabus atau bagaimana menyiapkan tenaga pengajar untuk metode yang tiba-tiba berubah. Para dosen dipaksa bersiasat sendiri-sendiri.

Pada akhirnya, banyak tenaga pengajar yang menjadikan hal ini sebagai formalitas dan tokenisme untuk sekadar memenuhi kewajibannya mengampu kelas. Tugas lagi, tugas lagi.

“Kemarin akhirnya gue nyoba dan nyerah karena akhirnya belum bisa mikirin apa-apa. Gue cuma ngabsen dan ngasih tugas aja, tugas laporan bacaan. Karena bener-bener bingung. Oke, mereka ngasih tau bisa pake Hangout, Zoom, dan lain-lain. Tapi, kan, metode belajar tiap mata kuliah beda-beda ya,” katanya.

Di sisi lain, saya lupa bahwa sukacita saya menyambut pembelajaran jarak jauh tak lepas dari privilese yang saya miliki. Meski tak kaya, saya punya gawai dan koneksi yang mumpuni. Bagaimana dengan yang bernasib lain?

Bagi Amri, dosen mata kuliah kalkulus di salah satu universitas swasta di Bandung, mengajar dengan tatap muka saja susahnya bukan main. Keharusan mengajar secara online membuatnya frustrasi. 

“Harus pake teknologi yang mereka nggak cakap sama sekali,” katanya mengeluh. “Mahasiswa saya rata-rata dari kelas menengah ke bawah. Hal-hal yang berbau teknologi, mereka catch up-nya agak susah,” tambahnya

Hal lain yang baru terpikirkan adalah saya tidak memerlukan cara belajar khusus. Bagaimana dengan para siswa sekolah inklusif yang berkebutuhan khusus?

Reni, seorang guru di sebuah sekolah menengah inklusif swasta di Jakarta, mengatakan bahwa baginya, yang mengajar para siswa berkebutuhan khusus, ada strategi pengajaran dan tujuan yang sangat sulit sekali tercapai melalui media daring.

“Penggunaan instruksi dan material yang sifatnya virtual akan sangat berbeda dengan interaksi langsung. Khususnya untuk anak-anak yang mengalami kesulitan dalam memahami instruksi atau teks-teks bacaan yang disertai dengan hambatan lain seperti rentang fokus yang pendek,” kata Reni.

“Sejauh ini yang bisa saya berikan adalah menyederhanakan instruksi dan membaginya menjadi bentuk urutan yang dikirimkan melalui email atau Google Hangout,” tambahnya.

Biasanya, dalam kelas tatap muka, Reni memastikan agar siswa-siswanya mampu belajar dan menerima materi dengan baik. Ada dua cara: pendampingan langsung selama murid belajar dan briefing di awal sebelum pembelajaran mulai. Hal ini juga menyesuaikan tingkat kesulitan dan kemampuan belajar muridnya.

Untuk materi yang ringan dan hanya butuh penyederhanaan instruksi, biasanya ia berikan dalam bentuk briefing sebelum kelas dimulai. Pada proses ini juga ia melakukan pengecekan, pemahaman, dan penyamaan persepsi siswa terhadap materi.

Dengan metode pendampingan langsung, di dalam satu kelas bisa terdapat 2-3 guru. 1 guru yang mengajarkan materi mata pelajaran di depan dan 1-2 guru (tergantung jumlah murid berkebutuhan khusus yang ada di kelas) yang memfasilitasi murid belajar secara individual.

“Pembelajaran buat murid berkebutuhan khusus memang lebih dipersonalisasi. Akibatnya pembuatan rencana belajarnya pun berbeda dengan siswa lain meskipun mereka berada dalam satu kelas,” kata Reni.

Kalau pengajar siswa-siswa tanpa kebutuhan khusus saja dibuat repot bukan main karena perlu menyesuaikan dengan kondisi dan teknologi, bagaimana orang-orang seperti Reni dan siswa-siswanya?

*MM Ridho

Segala puji bagi para ilmuwan pengembang vaksin COVID-19. Tapi, terus terang saja, sementara ini jangan terlalu berharap.

Bantu kami sebar kebaikan tiap pagi: bit.ly/545Asumsi

Saya dan Bae Melawan Pandemi

Takut, sih, tapi mau bagaimana lagi?

Sudah hampir seminggu batuk saya tak kunjung membaik. Seorang teman kerja saya sesak napas dan memeriksakan diri ke dokter, satu orang lainnya divonis infeksi paru-paru dan mesti mengisolasi diri. Meskipun keduanya tidak dinyatakan positif terinfeksi virus Corona, dada saya jadi ikut-ikutan terasa berat mendengar kabar itu.

“Gimana sih rasanya sesak napas?” pertanyaan itu saya lontarkan beberapa kali kepada pacar saya, bertanya-tanya apakah napas saya benar-benar berat atau semua ini hanya ada dalam pikiran. Berkali-kali pula, ia menjawab dengan tenang dan sabar, “Memang rasanya gimana ketika Bae bernapas?” Bae adalah panggilan sayang kami.

Sudah lebih dari 7 tahun kami berpacaran, sejak duduk di bangku SMA, dan selama itu pula hubungan kami adem ayem saja. Tak banyak gejolak, selain bahwa kami sempat putus sekali dan kemudian nyambung lagi. Seorang kawan dekat yang skeptis dengan long term relationship sempat mempertanyakan hubungan kami yang menurutnya “terlalu vanila”. Tapi kami memang tak terlalu suka keramaian, berusaha sebisa mungkin menjauh dari konflik, dan mendambakan kestabilan. Mungkin ini pula yang mungkin membuat kami kelewat nyaman dengan satu sama lain. Kencan pun tak jauh-jauh dari menonton film di bioskop, makan di restoran, atau sesekali staycation yang kami habiskan dengan menyetel film di TV kamar.

“Kita cek aja yuk besok,” katanya. 

Saat itu Minggu, 15 Maret 2020. Jumlah pasien positif Corona di Indonesia meningkat cepat dari 69 kasus menjadi 117 kasus dalam dua hari. Kami mencari informasi rumah sakit rujukan terdekat yang bisa melayani tes COVID-19, tetapi justru mendengar kabar bahwa banyak pasien ditolak untuk melakukan swab test. Seorang pasien melaporkan bahwa dirinya baru dites setelah kondisinya semakin buruk dan keluarganya mengancam pengelola rumah sakit. Pasien pun tidak diberikan informasi pasti kapan hasil tes akan keluar. Menurut pengakuan beberapa orang, masa tunggu bisa mencapai 5 hari.

Niat mengikuti tes COVID-19 di rumah sakit rujukan pun perlahan menguap. Apalah saya yang hanya batuk-batuk, sedikit demam, dan tidak punya riwayat bepergian ke negara terdampak? Apalah dirinya yang masih sehat-sehat saja dan berusia kurang dari 30 tahun?

Padahal, jika tren kenaikan jumlah pasien positif virus Corona di Indonesia tidak berubah, simulasi persamaan eksponen mengestimasikan ribuan orang lain akan dilaporkan positif pada 21 Maret mendatang, dan berlipat ganda menjadi puluhan ribu pada akhir Maret. Belum lagi jika mempertimbangkan kasus-kasus lain yang tidak terdeteksi. Intinya, berarti, setiap warga Indonesia, terutama di DKI Jakarta, termasuk kami berdua, rentan ikut tertular virus Corona.

Terlepas dari itu, imbauan work from home justru membuat kami lebih sering bertemu karena jarak tempat tinggal kami yang hanya berkisar 20 meter. Kami bosan dan kantong kami terlalu cekak untuk memesan makanan secara online—kami pun pergi makan siang di warung terdekat, atau menemani satu sama lain melanjutkan sisa-sisa pekerjaan dari kantor. Kami terbiasa saling memeluk, menggandeng tangan satu sama lain, berbagi makanan dan minuman. Ia hanya menjauh sejenak jika sedang ingin merokok. Saya beberapa kali tak sengaja batuk dan bersin di depannya. Kami menerapkan social distancing dengan menjauhi keramaian, tempat umum, atau menggunakan transportasi umum. Tetapi tidak ke satu sama lain.

Sebagai seorang laki-laki dan perokok aktif, penyakit COVID-19 bisa lebih berbahaya baginya dibandingkan bagi saya. Saya sempat menyampaikan kekhawatiran ini kepadanya, yang ia balas dengan berkilah bahwa ia lebih menjaga kesehatan dan lebih sering cuci tangan dibandingkan saya. “Lagipula tahu nggak mengapa laki-laki lebih rentan daripada perempuan? Karena biasanya laki-laki lebih jorok,” katanya.

Saya mengangguk-angguk, dan belakangan baru mengetahui alasan tersebut ngawur. Secara biologis, sistem imun perempuan memang lebih kuat dibandingkan laki-laki. Walaupun porsi perempuan dan laki-laki yang terinfeksi cenderung merata, wabah SARS dan MERS terdahulu memperlihatkan bahwa tren kematian di kalangan laki-laki lebih tinggi. Setelah saya koreksi, giliran ia yang mengangguk-angguk sambil menyembunyikan kepanikan.

Namun, sebagaimana umumnya orang Indonesia, tingkat kekhawatiran dan kewaspadaan kami berdua tak seberapa. Kami memang tidak sesantai Presiden Joko Widodo yang awal Maret lalu masih mengimbau warganya untuk tidak panik karena tingkat kematian COVID-19 lebih rendah dari MERS dan SARS (lihatlah, kini Indonesia jadi negara dengan jumlah kematian paling tinggi di Asia Tenggara). Tapi kami masih bisa bergurau untuk segera mengambil cuti, memesan tiket pesawat ke Korea Selatan yang harganya sempat hanya Rp50 ribu itu, dan pergi berlibur. “If I die, I die,” sejenak meminggirkan fakta bahwa kami bisa jadi carrier yang berbahaya bagi orang lain dari angan-angan.

“Atau, gimana kalau kita ke Prancis?” bukan karena ingin mengunjungi Menara Eiffel, tetapi karena belum ada pengumuman pembatalan Festival Film Cannes yang rencananya digelar pada pertengahan Mei ini. Padahal jumlah kasus virus Corona di Perancis sudah lebih dari 9.000, negara tersebut telah melarang lebih dari 100 orang berkumpul di satu tempat, dan jumlah pengunjung festival di tahun sebelumnya mencapai belasan ribu. Tentu saja, semua itu hanya jadi angan-angan egois yang dilontarkan sekenanya sembari kami Netflix and chill dan selalu lupa untuk beneran mengajukan cuti ke atasan.

Terlepas informasi tentang virus Corona di internet yang menyebar cepat dan meningkatkan kewaspadaan, sense of alert itu belum menjejak sepenuhnya. Jumlah kasus dan kematian yang terus meningkat memang kerap membuat saya merasa kewalahan hingga sesak napas, pusing, bahkan mual. Namun, ketika kamu log out Twitter dan memutuskan untuk keluar rumah, dunia terasa sedang berjalan seperti biasanya. Jalanan lebih sepi, tetapi warung makanan kesukaan kami masih buka, minimarket masih ramai, tukang sayur juga masih berlalu lalang. Masih banyak pula orang yang menongkrong di kafe untuk belajar, bekerja, bahkan sekadar bercengkerama. Rasa khawatir itu jadi seperti melayang di depan kepala kami, tetapi tak pernah benar-benar bisa kami genggam dan rasakan.

Di tengah itu semua, banyak pebisnis dan kelas pekerja yang mulai kena dampak. Bisnis-bisnis travel mulai sepi pelanggan, dan gaji karyawan-karyawan mulai dipotong. Nilai jual rupiah terhadap dolar AS menjadi Rp16 ribu rupiah. Sementara itu, kami sama-sama bekerja di sektor industri yang infrastrukturnya masih rapuh. Saya bekerja di media massa yang bisa saja tiba-tiba gulung tikar dan mem-PHK karyawannya (halo Buzzfeed, Vice, hingga Beritagar), dan dia bekerja di sektor perfilman, lebih tepatnya pengembangan ekosistem film dokumenter (jangan bayangkan studio besar produsen film-film blockbuster ber-budget tinggi) yang kini semakin terseok-seok akibat wabah virus Corona.

Menurut para ilmuwan, wabah virus Corona tak akan berakhir dalam waktu dekat. Usaha social distancing bukan hanya perlu dilakukan selama 14 hari ke depan, tetapi mungkin lebih dari satu tahun lamanya. Krisis finansial pun mungkin tidak terelakkan. Ketika banyak sektor industri sudah kena dampaknya, kami berdua mungkin termasuk cukup “beruntung” karena masih diberikan waktu untuk khawatir dan menyiapkan safety net.

Ketika artikel ini selesai, batuk saya masih tak kunjung reda, tetapi ia dengan santainya masih minum dari gelas saya. Kami menyesalkan pembatalan rencana ke taman akuarium untuk merayakan anniversary dan mulai kangen menonton film di bioskop. Tentu kami khawatir akan menularkan virus Corona kepada satu sama lain atau orang-orang terdekat, mengkhawatirkan nasib pekerjaan masing-masing di masa mendatang, dan apakah nantinya kami akan punya cukup uang untuk menyewa kontrakan bersama. Kekhawatiran-kekhawatiran datang dan pergi, sembari kami berkutat dengan tenggat pekerjaan di depan mata.

*Andari Kusuma

Surat 5.45

Halo, saya kebetulan lulusan public health salah satu peguruan tinggi di Semarang. Selama pandemi ini saya mencoba berbagi tulisan tentang upaya pencegahan pandemi Covid-19 terutama mencegah stigma. Saya rutin menulis di IG story. Cerita menarik lainnya adik-adik SD bimbel di lokasi KKN saya setahun lalu selalu menanyakan kabar sekaligus bertanya perkembangan corona ini. Hati saya menghangat karena sekarang posisi saya juga merantau.

*Marliana Vitasari


Everything happens for a reason. For me, instead of worrying and panic, its better to take something positive from this issue, COVID-19 bisa buat gue lebih bisa bersyukur dan diingetin soal seberapa penting kesehatan dan kebersihan itu. Talking about social distancing, when people are bored to stay at home, I'm so happy, karena gue bisa ngabisin waktu gue buat baca buku. Its amazing 3 books in a week. Thats all my story :) 

*Anidya Pratiwi


Halo, aku daftar volunteer untuk Covid-19. Berisiko memang, tapi aku mau ngelakuin hal baik sebanyak-banyaknya untuk mami dan juga almarhum papa. Tabungan pahala untuk mereka. Doain aku berhasil ya! ❤️

*Yasarah

Bagi kami, pendapatmu penting. Sampaikan ke bit.ly/surat545

IKLAN BARIS

Astungkara. Bogor. kami sadar memaknai kebudayaan seringkali disalahartikan menjadi kolot dan membosankan, karenanya Astungkara hadir agar stigma negatif itu dapat dipatahkan.

Pict N Frame. Jabodetabek. Di Jabodetabek, kami menyediakan jasa fotografer/videografer untuk dokumentasi berbagai hal. Prewed, Wedding, Graduation, Product, Couple, Maternity, etc. Catch us up!. WA: 081286961196

Twist Coffee. DIY. Ready to boost your day with our speaciality cold brew coffee.

Piknik Baca. Cilandak. Kami adalah taman bacaan gratis untuk anak-anak yang hadir setiap Minggu sore di Taman Wijaya Kusuma, Cilandak, Jakarta Selatan. Kami menerima donasi buku anak-anak yang layak baca untuk menambah aset pustaka di taman bacaan kami. Yuk, ikut ambil peran menyuburkan kecintaan literasi pada anak-anak!

Mau pasang iklan gratis? Klik di sini

Share this post
Saling sayang, saling rawat, saling jaga
545byasumsi.substack.com
TopNew

No posts

Ready for more?

© 2022 Asumsi
Privacy ∙ Terms ∙ Collection notice
Publish on Substack Get the app
Substack is the home for great writing