Asumsi 5.45

Share this post
There will be time, there will be time
545byasumsi.substack.com

There will be time, there will be time

Asumsi
Mar 11, 2020
Share this post
There will be time, there will be time
545byasumsi.substack.com

Do I dare disturb the universe?

Apa yang terjadi saat #GejayanMemanggilLagi?

Inilah kesaksian dua peserta aksi, nggak usah dengerin buzzer

Masyarakat Yogyakarta kembali berkumpul di Jalan Gejayan, Sleman, pada Senin (9/3). Sekitar seribu demonstran menyatakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law).

Tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak, massa berasal dari berbagai latar belakang: mahasiswa, buruh, aktivis lingkungan, jurnalis, dosen, dan musisi. Mereka menamai aksi itu "Rapat Rakyat: Mosi Parlemen Jalanan" dengan tagar-tagar #GejayanMemanggil #GejayanMemanggilLagi #GagalkanOmnibusLaw.

Sebelumnya, Aliansi Rakyat Bergerak menggelar unjuk rasa Gejayan Memanggil I dan II pada September 2019 untuk menolak RKUHP yang memuat berbagai regulasi yang merugikan rakyat.

Kalau ada yang bilang para pedemo "cuma ikut-ikutan padahal tak paham isu," jangan percaya. Massa aksi punya bekal kajian setebal 104 halaman yang meninjau Omnibus Law dari perspektif ekonomi-politik, ketenagakerjaan, pertanian dan persaingan usaha, pendidikan, investasi, kegiatan berusaha, dan tata ruang.

Saya, yang berada di Jakarta saat aksi berlangsung, cukup menjelaskan sampai di sini. Sisanya, sila dengarkan kesaksian dua teman saya yang memenuhi panggilan Gejayan.

Apa yang membedakan aksi ini dari rangkaian aksi sebelumnya?

Bambang Ismoyo, selanjutnya disebut Bambang, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta asal Kulon Progo, menyatakan:

“[Tuntutannya] disampaikan dengan lebih chill sih, nggak kayak September--panas banget. Beda 180 derajat. Kemarin tuh hujan, jadi enak aja walaupun secara kuantitas lebih banyak [saat] September,” kata Bambang.

Dia kemudian menambahkan, “Atmosfernya asik, tapi nggak ngelupain substansi yang kita angkat. Misalnya, ada live musik tapi habis itu tetep orasi, jadi nggak terlarut sama haha-hihi.”

Bhagavad Sambadha, selanjutnya disebut Bhaga, fotografer yang menempuh perjalanan ratusan kilometer untuk meliput aksi mengatakan ada banyak hal unik dari massa aksi #GejayanMemanggil kali ini, namun yang paling kentara: minim ego sektoral, tak seperti aksi di Jakarta pada September silam.

“Aksinya bisa secair itu. Lebih cair, lebih guyub [dari Jakarta]. Gue bukan bicarain mana lebih baik,” kata Bhaga soal massa aksi. “Kalau di Jogja mungkin karena memang kulturnya seperti itu. Mungkin karena mereka menganggap Jogja itu rumah mereka.”

Bagaimana pengelolaan massa dan pendanaan aksi?

Bambang: Kalau aku sendiri nggak ikut mulai dari konsolidasi karena harus skripsian. Tapi aku pantau lewat grup di UNY yang ngasih-ngasih kajian dari setiap konsolidasi, jadi bisa ikut membaca. Di hari-H aku ikut sama Rico dari UPI Bandung dan teman-teman lain. Jadi nggak ikut kayak organisasi kampus atau apa, independen gitu lho.

Untuk pendanaan, hari itu ada kardus keliling. Kalau aksi ini, aku nggak ikut [rapat] teklap dari awal. Tapi berkaca dari aksi sebelumnya [30 September], kita disuruh sosialisasiin kolektif dana ini untuk keperluan bikin banner, beli air minum, dan lain-lain. Iuran juga bisa via transfer rekening. Ovo dan Gopay juga ada.

Soal keamanan selama aksi, terutama bagi kelompok rentan, bagaimana?

Bambang: Ada banyak tim medis, ada 2 ambulans yang siaga juga, tapi aku nggak ngeliat dari mana institusinya. Waktu sesi live musiknya Rebellion Rose, di moshpit mereka bilang nggak boleh ada kekerasan seksual, semua peserta aksi harus nyaman. Waktu di moshpit ada yang pingsan juga langsung ditangani medis

Bhaga: Gue melihat, dibandingkan dengan aksi September di Jakarta kemarin--mungkin karena massanya lebih besar--mengawasinya juga susah.

Oratornya beberapa kali mengingatkan, “jangan ada cat-calling, tangannya jangan ke mana-mana, aksi ini safe-space buat semua orang, termasuk perempuan.”

Lucunya, orator sama sekali nggak mengingatkan, “Awas penyusup.” Kalau di Jakarta kan mahasiswa pake almamater buat alasan keamanan. Misalnya, ada orang yang bergabung tanpa almamater, bisa jadi penyusup. Kalau di sini tuh emang banyak yang nggak pakai identitas tertentu. Kemarin, sih, seinget gue sama sekali nggak ada yang mengingatkan awas penyusup. Jadi mungkin security measurement-nya berbeda, gitu.

Kelihatan banyak tim medis, sih, tapi nggak terlihat identitasnya. Paling ada ambulans yang terlihat dari Muhammadiyah. Kalau nggak salah juga ada dua posko medis. Yang di panggung juga sering mengingatkan bahwa ada medis di titik ini dan titik itu, kalau haus bilang--jangan diam aja, jangan lupa berbagi ke teman-temannya di sekitar. Kalau di Jakarta kan yang disuarakan awas provokasi, awas penyusup.

Omong-omong soal penyusup, ada hashtag #GejayanGerakanProvokasi di Twitter. Bagaimana pendapat kalian sebagai peserta aksi?

Bambang: Disappointed but not surprised. Orangnya kan itu-itu aja, walaupun yang naikin hashtagnya nama baru, tapi sama aja, buzzer. Omnibus Law ini kan kompleks banget masalahnya, melingkupi berbagai sektor. Tapi tetep aja aku berangkat [ke Gejayan] atas dasar keresahanku sebagai calon pekerja.

Ada orator aksi yang bilang, "Di twitter sedang naik hashtag soal gerakan provokasi, mari kita naikkan lagi hashtag kita buat melawan buzzer." Itu sekitar jam 2, dan setelah aksi aku baca-baca soal hashtag itu, datangnya dari Jakarta bukan dari Jogja. Pendapatku begini, di Jogja gerakannya soft. Aku mikirnya untuk apa juga Jogja jadi pendengung di sosmed. Kita juga kulo nuwun, istilahnya. Keresahannya disosialisasikan ke warga sekitar.

Bhaga: Kalau masalah hashtag provokasi, udah mainan lama banget. Setiap anak muda punya sikap atau gerakan politik, pasti orang-orang tua ini narasinya nggak jauh-jauh ngomongin gerakan ini ditunggangilah, dimanfaatinlah. Kesannya seakan-akan anak muda tuh nggak bisa mikir sendiri, nggak punya sikap politik sendiri.


*MM Ridho

Kenapa Jakarta sering banget kebanjiran?

Bantu kami sebar kebaikan tiap pagi: bit.ly/545Asumsi

Tiga hal yang tak perlu dikatakan laki-laki

...saat berhadapan dengan berita kejahatan seksual

"Kalau salah tuduh, gimana?"

Kalau difitnah melakukan kekerasan seksual, tentu kamu berhak menuntut keadilan. Namun, membicarakan kemungkinan itu atau kasus salah tuduh terhadap laki-laki lain saat di depan matamu ada korban yang mengais-ngais keadilan takkan menjadikanmu seorang manusia bijak bestari. Kamu cuma memamerkan bahwa kamu tak punya empati. 

Kata-kata itu juga menunjukkan kemalasan mencari tahu. Tak perlu repot-repot menelaah laporan kekerasan seksual Komnas Perempuan yang makin lama makin mengerikan itu, kok. Baca saja, misalnya, pengakuan para korban yang menggunakan tagar #MeToo di Twitter. Lihat balasannya. Ya, tak perlu jadi seorang jenius untuk menyadari betapa dunia ini berat sebelah. Kebanyakan korban bercerita bukan untuk menghancurkan pelaku. Mereka mengadu, Bung, dengan hati yang remuk.

Di antara segelintir tuduhan personal, ada banjir trauma yang tumpah setelah dibendung teramat lama. Di antara sedikit nama terduga pelaku, kekerasan seksual terus berulang, menghancurkan hidup korbannya satu demi satu. 


"Tidak semua laki-laki..."

Kalau mendengar seseorang mengatakan "Men are trash," jangan langsung naik pitam. Tarik napas, embuskan, ulang pelan-pelan sambil berpikir. Saya tahu ini sukar dicerna, tapi tidak berbuat jahat bukan berarti kita tak terlibat dalam kenahasan sistemik yang melanda perempuan. 

Percayalah, kita bukan orang-orang pertama yang terpikir untuk mengatakan "tidak semua laki-laki." Limbah itu saban hari didaur ulang di seluruh dunia, dengan hasil yang makin lama makin busuk. 

Di Cina, banyak orang meyakini bahwa kekerasan seksual semata-mata merupakan masalah Barat. Tentu saja kenyataannya tak demikian. Mereka hanya memalingkan muka dari para siswa yang diajari di sekolah-sekolah bahwa tugas pertama perempuan ialah mematuhi suami. Mereka memalingkan muka dari bayi-bayi perempuan yang dibunuh di Cina, Korea, dan India karena tradisi menempatkan perempuan sebagai beban keluarga.

Di Prancis keyakinan yang berlaku lain lagi, tetapi sama melencengnya. Bukan hanya satu atau dua orang yang  menganggap segala pembicaraan tentang kekerasan seksual sekadar pengalihan isu "serbuan Islam" ke negeri mereka. 

Menyusul kasus cendekiawan muslim Tariq Ramadan pada 2017, misalnya, orang Prancis berbondong-bondong membahas ketimpangan gender dalam Islam, hijab, terorisme, serta membandingkan semua itu dengan kultur sekuler Prancis yang menurut mereka beradab dan tak mungkin melanggengkan penindasan terhadap perempuan.

Anggapan "bajingannya tuh orang lain, bukan saya" melahirkan keengganan memeriksa kesadaran sendiri, baik secara pribadi maupun kolektif, tentang bagaimana kita berpikir tentang perempuan serta bagaimana pikiran itu menentukan sikap kita.


"Jadi korban karena nggak bermoral"

Yang perlu dibongkar dan diatur ulang, Bung, bukanlah cara perempuan menjalani hidupnya, tetapi isi kepala kita, yang dibentuk selama beratus-ratus tahun, dari satu ke lain generasi. Tak mengejutkan bila di sana ada beberapa peti berisi gagasan kedaluwarsa, kan?

Ambil contoh dongeng Putri Tidur alias Sleeping Beauty. Kisah itu dan dongeng-dongeng serupa, yang kita dengarkan sejak kecil, boleh jadi turut membentuk gambaran di kepala kita tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Ada laki-laki mencium seorang perempuan tanpa consent. Dia mencium secara sukarela, sedangkan orang yang dicucupnya hanya bisa menerima, pasif seperti arca batu, membiarkan yang terjadi, terjadi.

Ajaibnya, alih-alih mengalami trauma atau PTSD, perempuan itu malah terlepas dari kutukan. Apakah dia juga jatuh cinta kepada laki-laki tak tahu adat yang menciumnya di hutan saat ia terlelap? Oh, tentu saja, kenapa tidak? Mereka kemudian tinggal di istana, bersiap menghadapi hari-hari penuh kasih dan kemewahan.

Sebelum bertemu pangerannya, Sleeping Beauty bukanlah apa-apa. Semua nilai yang dimilikinya berasal dari seorang laki-laki. Ini tentu situasi yang mengenaskan bagi sang putri, tetapi kisah mereka tak menyediakan ruang baginya untuk berdiri sendiri. Nasib itu tentu dialami pula oleh Snow White dan Cinderella dalam dongeng masing-masing.

Kisah Sleeping Beauty paling populer ialah versi Charles Perrault dan Brothers Grimm beserta rupa-rupa turunannya, namun ada yang lebih "tua" dan "asli." Salah satunya ditulis oleh Giambattista Basile pada abad ke-17 dengan judul Sun, Moon, and Talia.

Alih-alih terjaga selepas dicium, putri tidur dalam versi ini diperkosa sampai hamil oleh seorang raja yang nyasar ke hutan. Sembilan bulan berselang, dia melahirkan dalam keadaan terlelap. Talia baru terjaga setelah salah satu bayinya yang kepalaran tak sengaja menyedot serpihan kayu beracun dari kulitnya.

Bangun tidur dalam keadaan seaneh itu, sang putri justru merasakan kegembiraan luar biasa alih-alih ketakutan.

Kisah itu tanpa malu-malu menempatkan sebuah kejahatan seksual sebagai anugerah bagi korbannya. Melalui pemerkosaan, Talia diberi kesempatan memperoleh hidupnya kembali. Namun, bagaimana dengan kehendak bebasnya sebagai seorang manusia? Tak perlu ditanya, sebab pesan moral dongeng tersebut: "Orang-orang beruntung tetaplah beruntung sekalipun tertidur."

Ada seksisme yang menyala-nyala dalam dongeng Sleeping Beauty versi Perrault dan Grimm, namun versi Basile jelas lebih brutal. Saya bersyukur bukan kisah Talia yang disebarkan oleh Hollywood ke seluruh dunia. Alangkah seram bila gambaran normal dalam kepala kita tentang hubungan romantis ialah pemerkosaan.

Namun, di sisi lain, perbedaan yang signifikan di antara versi-versi tersebut menunjukkan bahwa pakem dapat berubah. Cara berpikir laki-laki tentang perempuan pun semestinya dapat dibongkar dan disusun ulang dalam kerangka kesetaraan.

Dunia ini sakit, Bung, tapi kita bisa mengobatinya bersama-sama.

*Dea Anugrah. Sebagian informasi disadur dari buku Raphaël Liogier, Heart of Maleness (2020)

 

Surat 5.45

Halo, selamat pagi!

Setelah subscribe 5.45, saya selalu baca sebelum ngerjain tugas kantor. Saya juga sering nyimak surat pembaca di akhir 5.45. Tipikal silent reader gitu deh saya itu. Tapi kalo nggak kirim pesan takutnya saya nanti didepak dari list penerima 5.45 :(

Nggak pengin itu terjadi, kali ini saya kirim pesan. Terima kasih banyak, ya. Mungkin selain saya masih banyak silent reader lain. Terus sebar kebaikan, semoga Tuhan memberkati kita semua.

*Nahla


===
 

Selamat pagi juga, Nahla!

Jangan khawatir, nggak pernah dan nggak bakal ada pelanggan 5.45 yang dihapuskan dari daftar, apa pun alasannya. Dan setahu saya, newsletter ini juga akan gratis selamanya. Kepercayaan kalian, para pembaca, juga rasa ikut memiliki produk-produk Asumsi yang kalian tunjukkan dengan berbagai cara, merupakan bahan bakar yang cukup untuk kami.

Semoga harimu menyenangkan.

*Dea Anugrah

Bagi kami, pendapatmu penting. Sampaikan ke bit.ly/surat545

IKLAN BARIS

Rumah Craft. Bandung. Bagaimana caramu mengabadikan moment moment penting? Yuk abadikan moment pentingmu di dalam frame bersama Rumah Craft. Sisipkan perasaan cinta kalian melalui potongan kertas and let's create a memories! 

Payo. Online. Beli saldo Paypal Aman, Cepat, dan Mudah.

Bukedbakar. Purwokerto. Kamu harus tau, hatimu meriah cuma karena satu hal, Bukedbakar! Janji.

Toastmasters. Jabodetabek. Mari kembangkan kemampuan Public Speaking & Leadership bersama ribuan profesional dalam dan luar negri di Toastmasters!

Mau pasang iklan gratis? Klik di sini

Share this post
There will be time, there will be time
545byasumsi.substack.com
TopNew

No posts

Ready for more?

© 2022 Asumsi
Privacy ∙ Terms ∙ Collection notice
Publish on Substack Get the app
Substack is the home for great writing